Adalah
benar bahwa untuk mempengaruhi seseorang agar tingkah laku dan perbuatannya
sesuai dengan kehendak atau keinginan kita maka, hal yang pertama yang harus
dan mesti kita lakukan adalah mempengaruhi cara berfikirnya. Akan halnya jika
kita menginginkan semua orang agar bisa tetap setia dan konsisten dengan prodak
yang kita hasilkan maka, yang harus kita lakukan adalah kuasai cara berfikirnya
sedini mungkin dengan menanam chip kesetiaan pada logo atau merek-merek dari
dagangan yang kita produksi. Sebab hanya dengan cara seperti itu kita akan bisa
lebih mudah mengasilkan “budak merek” yang tak sadar dan akan tetap setia pada
barang yang kita produksi. Dan salah satu cara yang nyata untuk mewujudkannya adalah
dengan melalui komersialisme Media.
Fakta
yang tak terelakkan bahwa di abat ke 21 merupakan abad dimana remaja pertama
kali dibentuk oleh media. Bahkan itu terus berlangsung sampai sekarang,Yang
tentunya bagi Korporasi, bertujuan untuk mempengaruhi mereka (kaum remaja) agar
dapat menciptakan kesadaran sejak dini akan merek-merek yang mereka gunakan
sehingga kedepannya bisa memberikan keuntungan bagi korporasi tersebut secara
umum dan kerugian semata bagi remaja itu
sendiri secara khusus melalui komersialisme. Hanya saja tidak banyak dari kalangan
remaja itu sendiri yang mengetahuinya apalagi saat ini. Akibatnya para remaja
kita itu dikenal bukan lagi karena kebebasaan dan “kediriannya” secara murni
melainkan gairah mereka yang sangat antusias untuk meciptakan kehancuran bagi
dirinya sendiri.
Tanpa
kita sadari sejak pertama kali kita dilahirkan, sampai saat pertama kali juga
kita menyaksikan tayangan televisi, membaca berbagai macam majalah sebenarrnya,
saat itu pula kita sudah mulai di suntik dengan berbagai macam obat-obatan yang
seketika itu mungkin efeknya belum terasa dan hanya menunggu beberapa tahun
untuk membuktikan khasiatnya. Analoginya sangat sederhana sebab para pemasar
masih sangat percaya dengan pepatah lama yang menyebutkan bahwa “Pengaruhi
Mereka Sejak Masih Muda”.
ironisnya
lagi untuk mempertajam perbedaan kasta di lingkungan sosial standar dan tolak
ukur kecantikan, kegagahan, dan gaya trend yang para remaja kini gunakan untuk
menilai dirinya sendiri atau orang lain sudah sampai pada tahap yang sangat
memprihatinkan. Sekarang hampir semua remaja jika diperhatikan saling menilai
berdasarkan merek yang iya kenakan dan jumlah uang yang mereka punya. Sadar
atau pun tidak itulah faktanya. Mungkin hampir semua dari kita pernah mengalami
hal dimana ketika kita melihat teman atau pun orang lain melitas didepan kita
dengan mengenakan celana jeans bermerek
“Emba” misalkan, lalu kemudian tanpa ragu kita berargumen bahwa “merek calvin
klein lebih keren”.
Belum
lagi ketika sebagian gadis remaja atau ibu-ibu menghadiri sebuah acara, pesta
pernikahan misalkan, maka hal yang pertama yang mereka perhatikan bukalah kedua
mempelai yang sedang duduk manis di atas kursi pelaminan. Melainkan pakaian dan
merek yang dikenakan oleh orang-orang yang berada disekelilingnya berharap tak
akan ada yang bisa menandingi penampilannya. Bahkan ironisnya lagi, ternyata,
obsesi yang terlalu berlebihan terhadap barang bermerek mampu merubah cara kaum
remaja untuk menghabiskan waktu luangnya. Disisi lain pengaruh tekanan kelas
sosial yang berkali lipat lebih kuat menimpa mereka sehingga tak heran jika ada
kaum remaja kelas menengah berusaha keras untuk menguras tenaganya dengan
bekerja menjadi buruh di
perusahaan-perusahaan meskipun mereka masih berstatus pelajar hanya karena
berhastrat ingin mengejar rekannya yang lebih kaya.
Hal
menarik yang harus jadi perhatikan khusus kita, utamanya bagi kaum hawa adalah
sebuah penelitian pada tahun 2000 yang lalu menemukan bahwa efektifitas seorang
gadis remaja untuk bekerja hanya akan bermanfaat bigi dirinya jika dilakukan
hanya dalam batas waktu tertentu. Gadis yang pandai mengatur waktunya untuk
bekerja hanya beberapa jam dalam sehari lebih cenderung menghindari
minuman-minuman beralkohol, tidak merokok, mereka justru memiliki kemampuan
untuk mengendalikan dirinya dalam melakukan hal-hal yang negatif. Sebaliknya
gadis yang bekerja terlalu lama dalam sehari belum lagi jika dia berstatus
sebagai pelajar, dimana kita sama-sama tahu sebagaimana adanya seorang pelajar
tak terlepas dari tugas-tugas sekolah atau pekerjaan rumah (PR) yang harus
dikerjakannya. Apa lagi ketika mereka saja baru selesai bekerja maka, gadis
seperti ini akan berpeluang besar memiliki kecenderungan untuk stres dan selalu
merendahkan dirinya sendiri disisi yang lain. Sehingga akibatnya untuk
melapiaskannya pun mereka akan merasa lebih nyaman jika meminum minuman keras
plus merokok alasannya sangat sederhana “agar dapat menghilangkan stres” dan
sebagainya.
“Budak Merek” Yang Tak Mendapat
Apa-Apa
Sepertinya
tanpa kita sadari bahwa usaha dan kerja keras korporasi selama ini melalui
komersialisme media (iklan) untuk menciptakan “kesadaran merek” pada
remaja-remaja hingga ke anak-anak berusia 7-12 tahun telah mencapai tujuannya
yaitu menguras dompet kaum remaja dan anak-anak tersebut. Ini dibuktikan dengan
begitu banyaknya dari mereka yang sudah mengenal berbagai macam merek pakaian,
sepatu dan lain sebagainya yang cukup terkenal maupun yang tidak. Hal yang
mesti kita sadari bahwa apapun akan mereka lakukan untuk melariskan
dagangannya. Hingga sampai pada tahap yang mengerikan. Sebelumnya, siapa yang
akan menyangka bahwa tindakan eksploitasi korporasi terhadap kaum hawa didunia
iklan akan sampai tahap yang mengerikan seperti sekarang ini. Bukan hanya di
televisi dan majalah tetapi bagi penjelajah jejaring sosial (internet) pun bagi
mereka bukan suatu hal yang baru lagi ketika membicarakan hal itu padanya.
Dalam
salah satu magalog triwulan yang sempat dikeluarkan oleh perusahaan biro iklan
germen Abercrombie & Fitch (A&F) pada tahun 2000 dan 2001, dimana
didalamnya menampilkan siswa, bintang porno, yang mengenakan baju dalam
bermerek dan berfose sangat fulgar. Pesan iklan dalam magalog itu sangat
sederhana, yaitu ketika kamu sedang “bercumbu” dengan pasanganmu maka itu berarti
cumbuan mahal, baju dalammu harus bermerek agar kamu bisa mendapatkan cowok
atau cewek yang seksi. Dan adalah kenyataan bahwa akibat dari iklan seperti itu
maupun yang sejenisnya seperti yang banyak kita saksikan sekarang ini maka, tak
heran jika kita melihat remaja-remaja membeli “pakaian dalam” hanya karena
untuk memikat lawan jenisnya.
Fakta
lain yang sering kita saksikan dengan mata kepala kita sendiri atau mungkin
kita juga pernah mengalaminya secara langsung bahwa, keberhasilan korporasi
menyimpan chip berupa logo dan merek dagangannya di fikiran kaum remaja maupun
anak-anak ternyata membuahkan hasil yang sangat memuaskan bagi mereka. Mereka
terus menggencarkan serangan melalui komersialisme dengan memberi pandangan
kepada kaum remaja bahwa “kalian akan kelihatan modern jika memakai pakaian
bermerek” atau di tempat yang lain mereka juga membuat opini di kalangan remaja
bahwa “ Remaja sangat suka penampilan tubuh yang seksi dan mereka lebih
menyadari itu dari generasi-generasi sebelumnya”. Akibatnya banyak dari
remaja-remaja saat yang justru membenci dirinya sendiri hanya karena persoalan
tersebut.
Salah
satu dampaknya yang lain adalah baik yang miskin maupun kaya semua tidak
terlepas dari tekanan prodak merek. Oleh karena Tidak jarang kita sering
melihat seorang anak yang berusaha keras menyakinkan kedua orang tuanya untuk
membeli pakain yang mahal. Meskipun mereka tahu kondisi keuangan orang tuanya
sangat kritis, tapi mereka terus memaksanya hanya karena persoalan tidak ingin
ketinggalan fasyen dari teman-temannya yang lain.
Terkadang
kita merasa sangat bangga dengan prilaku tersebut, bahkan siap menjadi “pengiklan
tanpa sadar”. Misalkan ketika kalian mempunyai teman yang ingin membeli
pakaian, sepatu dan lain sebagainya. Dia datang kepadamu untuk berkonsultasi
dengan menyebutkan merek pakaian yang iya akan beli. Tapi karena semua merek
yang iya sebutkan itu tidak ada yang masuk akal bagimu sebab didalam tempurung
kepalamu sudah tertanam chip berbagai macam merek yang terkenal, maka seketika
itu pula kamu akan memberinya saran akan merek-merek terbaik untuk di belinya.
Dalam dalam hal ini posisimu bisa dikatakan sebagai “pengiklan tanpa sadar”
yang tak mendapat upah apa-apa dari perusahaan merek yang kamu sebutkan tersebut
atau lebih terkenal dengan sebutan trendspotter.
Terlepas
dari semua itu, hal yang tak bisa dipungkiri adalah bahwa korporasi tidak saja
merayu para remaja untuk membelanjakan uangnya. Mereka juga saat ini telah
berusaha menjerat kaum remaja dalam lingkaran setan yaitu kerja dan belanja
selama masa muda.
Untuk
keluar dari jeratan seperti itu tidaklah mudah. Minimal kita telah menyedari bahwa
selama ini ternyata secara sadar atau pun tidak kita sudah masuk dilingkaran
setan kapitalisme bahwa pandangan dunia kita sudah sepenuhnya di ubah menjadi
materialis. Semoga dengan kesadaran itu bisa memotifasi kita secara
perlahan-lahan agar bisa mendekonstruksi cara berfikir yang tadinya materialis
menuju ke Ilahi. Karena hanya dengan begitu kita tak lagi menjadi “budak-budak
merek” dan lain sebagainya.
Oleh: ISMAIL SAMAD
Pemerhati Politik FISIP Universitas
Muhammadiyah Jakarta dan Kader Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) FISIP UMJ
No comments:
Post a Comment