Konsep
atau gagasan dalam bahasa filsafat sering didefinisikan sebagai gambaran
realitas yang berada di dalam fikiran atau pahaman. Gambaran ini didapatkan
dari misdaknya (realitas luar) tentunya atas upaya sang subjek untuk beroktak
langsung dengan objeknya. Gagasan inilah yang kemudian kita kenal dengan
sebutan “pengetahuan”. Konsep atau gagasan yang ada dalam pahaman seseorang inilah yang kemudian akan menjadi
penyebab utama atau dasar bagi sesorang berbuat dan bertindak dalam melakukan
segala aktifitas.
Adalah
fakta bahwa cara berfikir seseorang sangat mempengaruhi pandangan dunianya,
apakah dia akan lebih condong ke materialis ataukah ke Ilahi. Dan pandangan
dunia ini sangat mempengaruhi seseorang bagaimana ia memilih atau menentukan
ideologinya.
Lalu
bagaimana jika persoalan ini kita kaitkan dengan kehidupan jurnalis, maksudnya
bagaimana jika seorang jurnalis di benturkan dengan sebuah kosep atau dengan
idealismenya dalam melakukan aktifitasnya? Apakah mereka akan manut begitu saja
dalam melakukan aktifitas itu dengan bangga menggadaikan idealismenya, Atau
mereka akan menghindar karena melihat idelisme itu sebagai sesuatu yang
bernilai dalam hidup dan kehidupannya?
Untuk
menjawab pertanyaan diatas tidaklah mudah. Oleh sebab itu untuk membuatnya
mudah, marilah kita mulai pembahasan ini dengan bagaimana cara untuk membentuk
“kesadaran” dalam diri kita untuk melakukan segala sesuatu. Khususnya bagi
mereka yang berkecimpung dalam dunia jurnalis. Karena hanya dengan cara seperti
itu kita akan lebih mudah mendeteksi perilaku seorang jurnalis apakah dalam
melakukan aktifitasnya mereka mampu mempertahankan idealismenya diatas pondasi nilai
akhlak dan ketauhidan ataukah tidak, jika dibenturkan dengan tugas yang bertentangan
dengan konsep dan keyakinannya.
Kesadaran
artinya mengenal identitas diri. Namun muncul pertanyaan dalam benak kita bahwa
kenapa kita harus sadar? Dan untuk apa kita harus sadar dalam melakukan segala
sesuatu? Sungguh kegagalan dalam menjawab pertanyaan ini akan menyebabkan kita
tenggelam dalam lautan dunia atheistik yang tak terampunkan. Alasannya sangat
sederhana sebab seseorang yang tidak mengerti tentang sebuah kesadaran apalagi
tidak memiliki kesadaran tauhid dalam dirinya, dapat dikatakan sebagai seorang
atheis sejati dalam perspektif islam. Disini mungkin saya tidak akan berusaha menjawab
pertanyaan diatas sebab saya yakin dan percaya jika para pembaca adalah
seseorang pemeluk islam sejati, niscaya akan menjawab pertanyaan tersebut
dengan mudah, semudah meneguk air dari dalam gelas.
dalam
pandangan islam, kesadaran dapat kita kategorikan kedalam tiga bagian. Pertama,
kesadaran sebagai mahluk. kedua, kesadaran akan penciptaan. Ketiga, kesadaran akan
pencipta (Tuhan). Ketiga kesadaran inilah yang disebut dengan kesadaran tauhid.
Kita
sama-sama tahu bahwa ketika kita bebicara tentang jurnalis hal ini pasti di
identikkan dengan kegiatan tulis menulis, potret memotret, mewartakan berita
dan lain sebagainya. Eksis dalam menjadi seorang jurnalis memang merupakan
pekerjaan yang mulia. Sebab mereka dapat menyebarkan infromasi dengan cepat kepada
khalayak melalu media massa atau elektronik, sebagai tambahan referensi
pengetahuan tentang apa yang terjadi bagi khalayak itu sendiri. Salah satu
kelebihan mereka pula karena mereka mampu merubah cara berfikir orang-orang
dengan cepat melalui tulisan-tulisannya. Namun apa jadinya jika kegiatan
jurnalis ini berdiri tegak diatas kendali orang-orang yang tidak memiliki
kesadaran tauhid. Sebagaimana telah kita ketahui sebelumnya bahwa orang-orang
yang tidak memiliki kesadaran ini dapat kita katakan sebagai seorang atheis
sejati. Jawabannya sangat sederhana karena dengan kelebihan yang mereka miliki sebagai
seorang jurnalis sebagaimana yang telah kita singgung diatas, maka bukan
sesuatu yang mustahil mereka pasti akan melahirkan pengikut-pengikut atheistik
yang tak sadar pula dengan pengaruh tulisannya. Mungkin dijaman seperti
sekarang ini para pengikut tersebut akan lebih trend jika diberikan gelar baru
sebagi seorang “atheis skriptualis” yaitu orang yang sesungguhnya tidak
bertuhan lalu mengaku-ngaku dirinya bertuhan.
Inilah
yang kemudian menjadi salah satu faktor bagi seorang jurnalis relah
menggadaikan idealismenya, rela melakukan sesuatu yang bertentangan dengan apa
yang ada di pahamannya, hanya karena persoalan tidak memiliki tiga kesadaran
tauhid tersebut. Mereka hidup seperti hewan-hewan yang tersesat tanpa gembala. Sehingga
yang mereka tahu hanyalah makan, minum dan “sex”.
Namun
tentu berbeda dengan mereka (jurnalis) yang memiliki kesadaran tauhid. Mereka
lebih cenderung akan menilai idealisme itu sebagai sesuatu yang mulia dan harus
dipertahankan dalam hidup dan kehidupannya. Sehingga ketika di benturkan dengan
tugas mereka sebagai seorang jurnalis yang sesungguhnya bertentangan dengan
keyakinannya, orang-orang seperti ini akan lebih cenderung menghindar tanpa
peduli konsekuensi apa yang harus ditanggungnya atas tindakannya tersebut.
Inilah yang dimaksud dengan konsep jurnalis yang tauhid. Sebuah konsep tentang
bagaimana membentuk kesadaran yang harus dimiliki oleh seorang jurnalis dalam
melakukan segala aktifitasnya. Hingga menjelma menjadi kesadaran jurnalis yang
tauhid.
Perlu
diketahui bahwa seorang jurnalis yang memiliki kesadran seperti ini (kesadaran
tauhid) tidak akan serta merta puas begitu saja dengan kesadaran tersebut.
Sebab mereka yakin bahwa dalam doktrin kesadaran tauhid dalam hidup dan kehidupan
jurnalis itu akan senantiasa bergerak hingga sampai pada tahap menemukan sebuah
peradaban jurnalis yang tidak terlepas dari nilai-nilai ketauhidan.
Namun
untuk menemukan bentuk kesadaran jurnalis yang tauhid utamanya dalam diri
individu-individu seorang jurnalis yang bersifat potensial maka, tidak ada cara
lain yang harus kita lakukan selain membentuk kesadaran tauhid
individu-individu tersebut terlebih dahulu agar dapat membentuk kesadaran tauhid
yang kolektif. Kenapa mesti demikian, hal ini disebabkan karena jurnalis eksis
dalam sebuah kelompok. Usaha untuk membentuk kesadaran tauhid satu persatu individu inilah yang kemudian
akan menjelma menjadi kesadaran kolektif dalam kelopok jurnalis. Dan dari
sinilah kemudian bisa lahir kesadaran
jurnalis yang tauhid yang kita maksud sebelumnya.
Alhasil
setelah penjelasan singkat diatas, kita ternyata bisa menemukan bahwa dengan adanya
kesadaran tauhid pada diri seorang jurnalis ternyata mampu membentuk suatu
kedaran baru yang kita sebut dengan kesadaran jurnalis yang tauhid. Selanjutnya
untuk apa kesadaran seperti itu harus ada dalam dunia jurnalis? Ternya kita
temukan fakta baru bahwa dalam doktrin kesadaran tauhid dalam hidup dan kehidupan
jurnalis ternyata akan terus bergerak hingga sampai pada tahap menemukan
peradaban jurnalis yang tidak terlepas dari nilai-nilai ketauhidan. kesadaran
jurnalis yang tauhid harus senantiasa tertanam dalam diri seorang jurnalis jika
ingin menciptakan peradaban jurnalis yang tauhid. Karena ia merupaka salah satu
syarat utama yang harus dipenuhi demi terciptanya peradaban tersebut.
Jika
kita amati penjelasan diatas, maka kita akan menemukan dua bentuk revolusi
untuk mencapai peradaban jurnalis yang tauhid yaitu: Pertama, Revolusi pemikiran, revolusi ini terjadi ketika kesadaran
individu ingin bergerak menuju ke kesadaran jurnalis yang tauhid. Kedua, Revolusia Gerakan Jurnalis Yang
Tauhid. Revolusi ini terjadi ketika kesadaran jurnalis yang tauhid ingin
bergerak menuju Peradaban Jurnalis yang Tauhid.
Jika
konsep seperti ini sudah tertanam sepenuhnya dalam benak soarang jurnalis maka,
adalah sebuah keniscayaan mereka dalam melakukan tugasnya pun baik itu menulis,
mewartakan berita, memotret dan lain sebagainya, semuanya tidak akan pernah
terlepas dari nilai-nilai ketauhidan.
Oleh: ISMAIL SAMAD
Pemerhati Politik FISIP Universitas
Muhammadiyah Jakarta dan Kader Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) FISIP UMJ
No comments:
Post a Comment