Sunday, September 8, 2013

Memanfaatkan Politik “Blusukan” Dalam Menyambut Pesta Demokrasi 2014

Perayaan pesta demokrasi di Indonesia bisa dikatakan tinggal menghitung hari lagi proses pelaksanannya. Para bakal caleg, capres dan cawapres yang siap bertarung dalam pentas pemilu yang akan datang ini pun terlihat cukup sibuk untuk membenahi diri di satu sisi, serta berusaha keras untuk mengembalikan citra partainya masing-masing di tengah-tengah kepungan hujatan enteh itu yang datang dari kalangan masyarakat, aktivis, LSM dll disisi yang lainnya. Tujuannya tidak lain adalah untuk meyakinkan serta menarik perhatian dan hati masyarakat agar bisa melihat mereka sebaga seorang pahlawan yang siap hadir dalam kesengsaran rakyat dan berusaha memberikan jalan keluar bagi kesengsaraan tersebut. 

Mendekati pemilu 2014 salah satu strategi yang dilakukan oleh bakal caleg, capres dan cawapres untuk memikat hati rakyat adalah dengan terjun langsung ke masyarakat entah itu dengan cara dengan motif melakukan kunjungan dan lain sebagainya. Dengan kunjungan seperti ini tentu yang mereka harapkan tidak lain adalah agar mereka bisa lebih dekat lagi dengan masyarakat secara langsung, karena hanya dengan begitu mereka akan lebih cepat dikenali. Upaya seperti inilah yang kemudian di kenal dengan istilah yang cukup trend di jaman sekarang dengan sebutan “blusukan”. 

Bagi para pembaca portal berita Onlaine tentu tentu tidak akan terkejut lagi ketika menyaksikan salah satu Partai Politik (Parpol) peserta pemilu yang pemimpinnya justru menghimbau para bakal Caleg usungan parpolnya sendiri untuk sering-sering melakukan “Blusukan” kepada masyarakat. 

Terdapat beberapa faktor mengapa para bakal caleg, capres dan cawapres melakukan hal yang demikian. Bisa jadi, disamping dana kampanye mau pun pribadi yang mereka dapatkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan peralatan kampanye seperti Baliho, pamflet dan lain sebagainya, bisa juga karena hanya sekedar ingin melakukan pencitraan diri agar dapat terkesan merakyat di hadapan khalayak. Atau tidak mustahil juga jika di katan bahwa mereka melakukannya dengan tulus tanpa syarat apa pun kecuali ingin melihat langsung kondisi kesengsaraan hidup masyarakat dan siap untuk memberikan perubahan yang tidak hanya stak pada tataran konsep tetapi dapat dibuktikan secara langsung dalam praksisnya di lapangan. 

Memang tidak ada salahnya jika para caleg, capres dan cawapres melakukan hal yang demikian adanya. Karena tidak bisa dipungkiri juga bahwa suksesi kepemimpinan di negara kita ini bisa dibilang terus dan akan terus berlanjut dan kita wajib untuk memilih seorang pemimpin yang benar-benar berjiwa pemimpin, bertanggungjawab, adil, beriman dan berakhlak. Semua orang memiliki kebebasan serta potensi untuk memimpin negara kita yang tercinta ini jika dan hanya jika meraka bisa memenuhi syarat-syarat atau aturan yang ada dan berlaku didalamnya. 

Namun hal yang perlu diperhatikan dan menuntut kita harus kritis menelaahnya adalah pertanyaan, apakah semuanya bisa selesai hanya pada tataran melakukan kunjungan semata? Jika tidak, maka untuk apa kunjungan itu dilakukan jika ia hanya bersifat momentuman? 

Saya masih sangat yakin dan percaya bahwa, calon pemimpin kita tentu sudah memiliki berbagai macam strategi untuk membenahi negara kita yang sudah carut-marut ini, yang tentunya sudah siap untuk di aplikasikan ke wilayah praksis ketika mereka sudah berada di tampuk kekuasaan. Ini tentu merupakan niat serta upaya yang baik yang patut untuk kita berikan apresiasi terhadapanya. Ironisnya, terkadang niat serta upaya yang cukup baik ini sering kali dilakukan dengan cara-cara yang justru membuat para peramu strateginya senantiasa menjauh dari tujuan baik tersebut. Dan ini bukanlah sebuah pemandangan yang baru lagi ketika di kaitkan dalam konteks perpolitikan di indonesia. 

Disisi lain masyarakat yang selalu merasa dirinya tertindas oleh penguasa, terabaikan oleh kepentingan, tersingkirkan oleh syahwat materi yang berlebihan, lebih memilih untuk diam dan bersikap apatis terhadap semua persoalan yang ada. Karena yang terlintas dalam benak mereka hanyalah sebuah bentuk ke-sia-sia-an atau membuang-buang waktu saja jika melakukan perlawanan, toh akhirnya tidak akan didengarkan juga. Sehinga ending dari ceritra kehidupan ini pun (baca: suksesi kepemipinan) selalu berakhir dengan sangat tragis. Dan sadar maupun tidak, yang terlihat hanyalah sebuah bentuk kerjasama yang terjadi secara berulang-ulang. Kerjasama yang “profesianal” antara sang penindas dan yang tertidas sehingga tidak heran jika hasilnya adalah sebuah bentuk penindasan yang sangat luar binasa. 

Sebenarnya salah satu alasan yang dapat kita ajukan untuk meyakinkan masyarakat dalam menaggapi pernyataan bahwa, mengapa seluruh masyarakat di Indonesia harus dituntut untuk menjadi pemilih yang cerdas atau kenapa mereka harus mendapat pendidikan politik yang memadai, yang salah satu kegunaannya adalah untuk mengikis habis berbagai macam tindak kecurang dalam pemilu seperti praktek money politik yang tidak bisa kita pungkiri disisi lain telah menjadi praktek yang sudah “berulang tahun” tanpa adanya penanganan serius dan tegas dari aparat penegak hukum serta merupakan bentuk praktek kejahilan yang meniscayakan dapat menjadi batu sandungan terhadap upaya proses penataan demokrasi di Indonesia untuk menuju kearah yang lebih baik lagi. 

Alasan itu adalah agar ketika mereka (masyarakat) mampu melakukan dua hal diatas dengan tulus dan iklas serta di menjadikan pengetahuan sebagai pondasinya, maka pemimpin yang akan hadir di tengah-tengah mereka pun pastilah dia pemimpin yang cerdas, berakhlak, berani menentang dan berusaha keras menghapuskan berbagai macam praktek kecurangan yang sudah menjadi amunisi andalan bagi para elit serta calon penguasa yang jahil (bodoh), dengan ganjaran yang minimal bisa membuat mereka melakukan taubatannasuha pula. 

Lantas muncul pertanyaan dalam benak kita bahwa, apa dasarnya jika seluruh masyarakat Indonesia bisa menjadi pemilih yang cerdas maka yang kemudian lahir adalah pemimpin yang cerdas pula? 

Sebenarnya untuk menjawab pertanyaan diatas tidaklah sulit jika kita sedikit saja mau berpikir dengan menggunakan kaidah-kaidah logika yang tepat serta mengkomparasikannya dengan menggunakan akal sehat yang tidak syarat akan emosi dan putus asa. 

Dalam hukum kausalitas (sebab-akibat) terdapat prinsip yang berbunyi bahwa “satu sebab hanya melahirkan satu akibat dan satu akibat hanya lahir dari satu sebab”. Misalnya “pemilih cerdas” sebagai sebab, tentu hanya dapat melahirkan “pemimpin cerdas” sebagai akibatnya. Dan sangat mustahil ia melahirkan pemimpin yang “jahil (bodoh)” begitu pun sebaliknya. 

Hanya saja kategori “pemimpin yang cerdas” haruslah dipahami seperti mereka yang benar-benar konsisten terhadap kecerdasannya masing-masing. Bahwa seorang pemimpin yang cerdas tidak mungkin melakukan hal-hal yang bodoh, sebab ini akan sangat bertentangan dengan kecerdasannya yang sudah barang tentu dapat merugikan dirinya sendiri, maupun orang lain yang ada disekitarnya. Serta hanya mementingkan diri sendiri dan keluarganya tanpa sedikit pun mau melihat seperti apa dan bagaimana penderitaan dan bentuk kesengsaraan rakyat yang di pimpinnya. Sebab jika tidak, maka kita akan kesulitan untuk memahami kategori pemimpin yang cerdas itu seperti apa, karena walau bagaimana pun, seseorang tidak akan mungkin menjadi atau dipilih sebagai pemimpin jikalau dia itu orang yang tidak cerdas. Kecuali dalam negara tersebut di isi oleh mayoritas orang “gila” yang memilihnya sebagai seorang pemimpin. Oleh karena itu jadilah pemilih yang cerdas untuk melahirkan pemimpin yang cerdas dan jangan pernah bersikap apatis hingga pada tahap mengurungkan niat untuk ikut serta dalam memilih calon pemimpin. 

Bukankah memilih pemimpin itu adalah sebuah kewajiban? Diam dalam kejahilan tidak akan mendapat apa-apa kecuali hanya kerugian semata. Kecuali jika ada jaminan bagi kita telah menyaksikan bahwa tidak ada lagi bakal calon pemimpin yang patut untuk dipilih, dan itu benar-benar keluar dari hasil perenungan dan pengetahuan kita selalu yang bersifat ojektif dalam menilai segala sesuatu. 

Oleh: ISMAIL SAMAD 
Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) dan Kader Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) FISIP UMJ

No comments:

Post a Comment